Tuesday, June 12, 2018

Catatan Hidup #5 Kerja di Malaysia

Petualangan saya dalam berburu pekerjaan belum berakhir. Kali ini saya sedikit mengembangkan sayap ke sebuah negara yang terletak tak jauh di sisi utara nusantara, yaitu Malaysia.

Wow. Sungguh excited rasanya untuk mencoba bekerja di negara orang. Terlebih bagi saya yang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di luar Indonesia. Untung saja, Malaysian masih bisa dibilang saudara serumpun kita, sehingga meskipun bahasa inggris saya masih pas-pasan, saya merasa cukup pede untuk melangkahkan kaki kesana. Is that true?

Ternyata saya salah. Sepertinya memahami bahasa inggrisnya english-speaking country jauh lebih mudah daripada memahami bahasa melayu atau bahasa inggrisnya penduduk Malaysia yang seringkali saya temui disini. Penduduk Malaysia yang saya sebut ‘seringkali saya temui disini’ justru bukan pribumi-pribumi melayu lho. Entah hanya kebetulan, dalam dua minggu pertama kehidupan saya di Kuala Lumpur ini, sepertinya saya lebih sering berinteraksi dengan penduduk Malaysia yang berasal dari negara-negara lain seperti China, India, Nepal, Bangladesh, dan sebagainya, dibandingkan dengan penduduk asli malaysia.

Tempat tinggal di Malaysia

Artikel saya yang satu ini tidak akan membahas detail teknis tentang cara-cara maupun prosedur yang saya jalani hingga saya berhasil mendapatkan pekerjaan di negara tetangga ini. Mungkin jika ada waktu, pembahasan tersebut akan saya ulas di sebuah artikel tersendiri. Jika sempat. Jika mood sedang baik.

Artikel ini mungkin hanya akan berisi ulasan singkat tentang pengalaman saya di 15 hari pertama hidup di Malaysia. Semoga bisa membantu pembaca sekalian yang juga memiliki ketertarikan untuk bekerja disini.

Mari kita mulai dari hal yang terpenting dahulu: akomodasi.

Jika ingin menetap di suatu tempat dalam kurun waktu yang cukup lama, tentu saja apartment/condominium/flat/kosan menjadi hal paling penting yang harus dijadikan prioritas utama. Gile aje mau nginep di hotel terus-terusan. Bisa bangkrut! Jujur sampai detik ini saya belum bisa membedakan pengertian dari apartment, condominium, atau flat di Malaysia. Yang saya tau ya cuma kos-kosan, Muehehe.

Ini dia dua website yang saya gunakan untuk nyari tempat tinggal:

www.ibilik.my
www.propertyguru.com.my

Tentu saja masih banyak website lain yang bisa digunakan, googling aja.

Correct me if I’m wrong, sepertinya disini jarang sekali ada owner property yang menawarkan kos-kosan seperti yang biasanya kita temukan di Indonesia. Seringkali, mereka menawarkan unit dalam bentuk condominium, bisa isi 2 kamar, 3 kamar, atau 4 kamar, lengkap dengan dapur, ruang tivi, dan tentu saja kamar mandi. Harganya ya tergantung luas ruangan dan fasilitas, ada yang fully furnished dan ada juga yang tidak.

Jadi kalau misalnya kamu cuma sendiri nih, owner/agent akan menawarkan kamu untuk mengambil satu kamar yang ada dalam sebuah condominium (ada banyak condo yang kamarnya disewakan secara eceran-red). Tapi usul saya sih mending cari temen sebangsa, biar enak hidup dengan budaya yang cenderung mirip. Kecuali kamu mau mendekam terus di kamar tanpa niat untuk menggunakan ruang tivi dan dapur yang mana adalah properti bersama, atau kecuali jika kamu memang mampu dan mau beradaptasi dengan orang-orang dengan budaya berbeda.

Tapi tetep ada kok yang nyewain kos-kosan seperti di Indonesia, hanya saja jumlahnya tidak banyak.

Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk tempat tinggal?

Semasa bekerja sebagai peserta ODP  di perusahaan sebelumnya, saya hidup berkelana dari satu kota ke kota lainnya. Saya pernah ngekos di area Kebayoran Baru ketika bertugas di Jakarta Selatan, Sunter di Jakarta Utara, Cinere, Depok, Metro di Lampung, Green Garden di Jakarta Barat, Cileungsi, dan terakhir di Pekanbaru, Riau.

Jika dibandingkan dengan biaya tempat tinggal di Pekanbaru dan Metro, maka biaya tempat tinggal di Kuala Lumpur terbilang mahal. Tapi jika dibandingkan dengan biaya tempat tinggal di Jakarta, menurut saya imbang, tidak terlalu mahal.

Disini, saya harus merogoh kocek sebesar 1800 RM (ringgit malaysia) untuk menyewa sebuah condominium dengan 3 kamar tidur, 4 kamar mandi, 1 gudang kecil, dapur, ruang tivi. Dengan fasilitas AC-kipas angin-tempat tidur-lemari di masing-masing kamar, satu buah televisi-kulkas-kompor untuk digunakan bersama. Lengkap dengan sofa, meja makan, rak tivi, rak sepatu dan sejenisnya. Nah ini yang disebut fully furnished. Sebagian condo ada yang menawarkan harga lebih murah, tapi ya barang-barang tersebut tidak disediakan owner, balik ke preferensi masing-masing deh, sukanya yang mana.


Namun perlu digaris bawahi, 1800 RM diatas belum termasuk biaya air dan listrik. Jadi anggaplah total semua biaya yang diperlukan untuk sewa tempat tinggal sebesar 2000 RM. Karena saya berempat, jadi patungan masing-masing sekitar 500 RM. 

500RM itu kalau dirupiahkan dengan kurs saat ini, sebanding dengan 1,7jt rupiah. Untuk fasilitas yang bagi saya lumayan wah (termasuk free access ke kolam renang, gym, sauna, dan jacuzzi) harga tersebut menurut pendapat saya terbilang wajar. Mengingat kosan saya di Jakarta harganya bisa mencapai 1 hingga 1,4 juta hanya dengan fasilitas AC dan kamar mandi di dalam. Dengan standar biaya hidup yang lebih tinggi, tentu saja harganya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di Indonesia. Jadi sangat tidak fair jika dibandingkan dengan cara mengkonversi kurs mata uang.

Salah satu biaya yang menguras dompet

Ada satu hal terkait tempat tinggal yang lagi-lagi baru saya temui di Malaysia, yaitu sistem deposit condo/apartment. Mungkin karena sejauh ini saya cuma pernah tinggal di kos-kosan biasa, tidak pernah ada ibu kos yang minta deposit-depositan. Bayar sebulan doang, silakan tinggal. Bulan depan ditagih lagi. Wkwkwk.

Kali ini beda. Untuk menempati sebuah condo dengan tarif 1800 RM perbulannya, saya dan teman-teman diharuskan merogoh kocek sebesar 6900 RM. Dengan rincian:

  • 1 bulan sewa dibayar dimuka: 1800 RM
  • 2 bulan security deposit: 3600 RM
  • 1/2 bulan utilities deposit 900 RM
  • biaya stamping 600 RM
Cukup menegangkan ya. Jika ditotal, kami harus mengeluarkan uang setara 24jt rupiah untuk masuk ke condo ini. Jumlah yang menurut kami tidak kecil sama sekali. Hahaha.

Bisa disimpulkan, jika kamu menginginkan sebuah apartment/condo dengan harga misalkan 1000 RM, kamu harus menyediakan uang sebesar 2000 hingga 4000 RM. Karena mayoritas owner disini biasanya menghendaki deposit sebesar 2x hingga 4x biaya sewa bulanan.
Read More

Tuesday, April 17, 2018

Minat Baca Warga Indonesia yang Rendah



Tiba-tiba malam ini saya teringat pada sebuah permasalahan yang sebenarnya sudah lama mengganggu pikiran saya. Permasalahan yang saya maksudkan ialah perihal minat baca saudara setanah air saya, bangsa Indonesia.

Langsung saja jemari ini mengetikkan beberapa keyword di sebuah mesin cari favorit berawalan G yang berlogo enam huruf dengan warna pelangi: “minat baca indonesia”.

Boom! Sebuah artikel dari kompas tampil di halaman pertama, isinya mengejutkan bagi saya. Berdasarkan studi “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara perihal minat membaca. Hanya Bostwana-lah satu-satunya negara yang posisinya dibawah Indonesia dalam daftar tersebut! Gokil.

Bukanlah suatu hal yang mengejutkan saya jika sebuah studi membuktikan bahwa minat baca warga Indonesia terbilang rendah, hanya saja, saya tidak menyangka jika ternyata sampai serendah ini. Memang studi tersebut tidak lagi anyar, dua tahun sudah berlalu, tapi saya yakin dalam rentang waktu sesingkat itu hasil studi terbaru pun hasilnya tak akan jauh beda.

Miris, memprihatinkan.

Saya tertegun, mencoba merenungi diri sendiri terlebih dahulu. Faktanya, saya juga termasuk orang Indonesia yang tidak terlalu rajin membaca. Sibuknya dunia kerja, lelahnya fisik dan pikiran setelah seharian beraktivitas senantiasa menjadi kambing hitam. Mungkin Hidayat Syah muda jauh lebih banyak bacaannya daripada Hidayat Syah yang sekarang.

Bicara tentang bacaannya seorang Hidayat Syah, berarti bicara tentang bacaan-bacaan di internet (mostly). Saya terjun ke dunia internet di era friendster masih berjaya, saat itu bisnis warnet baru mulai kelihatan batang hidungnya di kota Padang. Warnet yang saya kunjungi rata-rata dipenuhi bocah-bocah sekolahan yang datang untuk bermain Counter Strike dan chatting via mIRC.

Internet langsung menarik perhatian saya di kala itu, karena segalanya bisa dicari dengan mudah. Tinggal ketik dan pencet enter di mesin pencari. Biasanya, pasti sudah ada yang pernah membahas topik yang dicari tersebut.

Bayangkan, kita tidak perlu lagi ke perpustakaan, tidak perlu lagi bersusah payah menelusuri katalog untuk menemukan buku yang kita butuhkan demi menggali pemahaman tentang sebuah materi, tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli buku yang mungkin hanya akan sekali kita baca dan lalu terlupakan. Internet sungguh berjasa bagi saya, baik dulu maupun sekarang.

Memang, internet tidak akan pernah berhasil menggantikan buku. Tidak akan.

Sampai saat inipun saya tetap saja harus mengalokasikan sebagian pendapatan untuk membeli buku-buku tertentu. Internet itu terlalu luas, terlalu banyak sumber dan sayangnya tidak semuanya kredibel. Luasnya internet tersebut juga dapat membuat kita ‘tersesat’, lupa arah dan tujuan, tanpa sadar melenceng dari topik awal yang sedang kita coba untuk pahami. Setuju? Atau mungkin saya aja yang ngga fokus ya?

Terlepas dari segala kekurangan internet diatas, tetap saja, kehadiran internet seharusnya mendongkrak minat baca umat manusia. Teknologi pada dasarnya mempermudah segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal memperluas wawasan.

Jadi, mengingat bahwa Indonesia bukanlah negara terbelakang yang belum mengenal internet, rasanya sangat memprihatinkan jika faktanya minat baca warga Indonesia masih  sangat rendah.

Indikator yang digunakan dalam studi tersebut memang tidak terlalu mempertimbangkan internet sebagai bahan bacaan. Maka dari itu lagi-lagi saya harus mengakui bahwa saya pun pasti termasuk dalam kategori warga Indonesia dengan minat baca rendah. Buku-buku yang saya baca masih tergolong sedikit, perpustakaan mini saya pun didominasi oleh novel dan komik. Buku-buku berfaedah ada sih, tapi tidak banyak. Wawasan saya kebanyakan datang via internet.

Mari kita stop dulu bicara tentang studi-studian, dan beranjak sedikit pada kegundahan sejenis yang ingin saya paparkan. Ini pemikiran saya, tanpa riset, tanpa metodologi yang reliable, hanya opini. Jadi, jika salah; maafkanlah.

Sebagai salah satu penggiat blog kopas bernama sayakasihtahu.com sejak tahun 2009, sedikit banyaknya saya dapat ‘merasakan’ konten seperti apa yang diminati oleh netizen dan sebaliknya konten seperti apa yang hambar-hambar saja bagi netizen.

Ada konten yang begitu dipublikasikan langsung mendapat banyak views, banyak komentar, banyak dibagikan oleh pembaca ke media sosial mereka pribadi, dan ada juga konten yang tidak laku, sedikit visitornya, tidak ada yang komen, apalagi dishare ke medsos.

Sedihnya, seringkali konten yang laris manis dibaca ribuan hingga jutaan visitor adalah konten-konten yang sensasional, berita-berita tentang selebritis, gosip, hoax, bukan konten-konten yang mencerdaskan.

Jika dilihat dari sisi blogger/ writer sebagai pebisnis, tentu saja menciptakan konten yang dicintai khalayak ramai akan lebih menguntungkan daripada menciptakan konten berkualitas yang peminatnya hanya segelintir orang saja. Hal inilah yang menyebabkan satu persatu blog yang pada awalnya menyajikan informasi-informasi berfaedah beralih fungsi menjadi blog-blog gosip dan sejenisnya. Mereka juga butuh uang tho?

Come on! Sampai kapan Indonesia akan jadi negara seperti ini. Minat baca rendah, sekalinya baca malah konten sampah.

Alih-alih menyalahkan salah satu pihak baik pembaca maupun pihak penyedia konten, mari terlebih dahulu kita mengintrospeksi diri sendiri, sudahkah kita menggunakan internet dengan bijak? Ataukah, malah kita termasuk dalam golongan orang-orang yang tanpa sadar mendukung lahirnya konten-konten sampah di dunia maya?

Read More

Saturday, March 17, 2018

Komunis adalah Ateis?


Oke, pada hari Sabtu yang tidak meriah ini, saya akan memaparkan pandangan saya terhadap komunisme.

Beberapa momen ke belakang, sempat terngiang di telinga kita isu-isu seputaran bangkitnya komunisme di Indonesia. Sejujurnya, saya bukan pakar dalam bidang ini, dan saya pun tidak terlalu mengikuti perkembangan beritanya. Saat ini pun mungkin sudah sedikit telat untuk kembali mengungkit permasalahan ini.

Tapi gapapalah ya kita bahas sedikit pandangan saya terhadap isu tersebut.

Entah mengapa sampai sejauh ini saya tidak meyakini bahwa isu tersebut akan benar terjadi.  Menurut saya, komunis di Indonesia tidak sekuat itu untuk bangkit lagi.

Nah, beralih sedikit nih.. Hal yang membuat saya heran justru berkaitan dengan pemahaman yang berkembang di Indonesia bahwa orang komunis itu ateis atau sebaliknya orang ateis itu komunis. Singkatnya, banyak yang beranggapan bahwa komunis = ateis.

Sebagai seorang anak muda yang telah kurang lebih sembilan tahun mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ke-ateis-an (sehingga sering dituduh ateis oleh sebagian teman) saya pribadi merasa terkedjoed.

Sebatas pengetahuan saya, bicara tentang atheisme artinya bicara tentang pandangan seseorang terhadap eksistensi tuhan. Sedangkan, bicara tentang komunisme, artinya bicara tentang pandangan seseorang terhadap ideologi ekonomi politik yang dianutnya.

Bicara tengan atheisme, bisa kita sandingkan dengan pembicaraan tentang theisme, bolehlah kalau kita sandingkan dengan ceruk yang lebih spesifik seperti monotheisme, politheisme, dan sebagainya.

Sedangkan,  jika bicara tentang komunisme bisa kita sandingkan pembicaraan lain tentang kapitalisme, liberalisme, anarkisme, fasisme, dan banyak lagi. Sampai sini saja sudah jelas terlihat ranah komunisme itu dimana, ranah atheisme itu dimana.

Seorang ateis bisa saja seorang penganut komunisme. Namun bisa juga bukan. Bisa saja masalah tuhan dia memang ateis, namun di masalah ekopolitik ia kapitalis atau lain sebagainya.

Menurut saya, anggapan sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa orang komunis itu ateis tak lepas kaitannya dengan tragedi pemberontakan G30S/PKI yang terjadi pada tahun 1965.

Pada saat itu isu agama dijadikan salah satu penyulut semangat yang digunakan untuk memberantas habis penganut komunisme ketika terjadi pemberontakan. Mereka yang menganut paham komunisme dicap sebagai orang-orang yang anti-tuhan sehingga layak dibantai. Halal darahnya. As always, isu agama selalu sukses menyulut amarah orang Indonesia.

Saya sangat sadar jika statement yang saya tulis diatas sangat sensitif. Maka dari itu, saya tekankan sekali lagi bahwa ini hanyalah opini saya. Opini lho ya. Sangat besar kemungkinannya opini tersebut salah.

Sampai saat inipun, isu agama selalu menjadi santapan yang lezat untuk diumpankan ke masyarakat Indonesia. Topik yang satu ini begitu sensitif sampai-sampai kebanyakan oknum yang 'termakan' isu tersebut seringkali bertindak tanpa pikir panjang. Aksi dulu! Klarifikasi kemudian!

Padahal jelas-jelas dalam agama mayoritas penduduk indonesia diajarkan untuk tabayyun. Cek dulu kebenaran infonya, baru disebarkan ke orang lain, baru ambil tindakan.

Oke oke. Back to the topic. Pasti ada sebabnya kan kenapa sampai ada pemikiran bahwa komunis adalah ateis atau ateis adalah komunis? Ya, ada dong.. Ngga mungkin pemikiran tersebut muncul tiba-tiba dari dalam perut bumi. Beberapa penyebabnya akan saya coba paparkan.

Mulai dulu dari fakta bahwa negara-negara penganut komunis terbesar seperti Uni Soviet dan RRC mayoritas penduduknya adalah ateis. Tentu saja hal ini juga menjadi penyebab utama munculnya pemikiran ateis = komunis.

Selain itu, para pendiri-pendiri komunis seperti Marx memang terkenal dengan pernyataan-pernyataan kontroversialnya seperti 'agama adalah candu (opium)'. Die Religion ... ist das Opium des Volkes. Ungkapan dalam bahasa Jerman ini seringkali disalah artikan, banyak orang menganggap inti dari ajaran komunisme adalah anti agama/anti tuhan. Padahal jika dipelajari konteksnya secara keseluruhan mungkin artinya berbeda. Wallahualam. Silakan analisa sendiri di page wikipedia yang ini: https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_adalah_candu

Tapi tidak disalahkan juga jika ada yang bilang kalau Marx dan Lenin menganjurkan pengikutnya untuk meninggalkan agama. Memang ada yang bersaksi bahwa hal itu benar terjadi. Kalau soal itu sih saya tidak bisa berpendapat, karena tidak ada bukti yang kuat (setau saya) yang mendukung statement tersebut. Karya-karya tertulis Marx tidak pernah secara lumrah membahas anjuran tersebut. Semuanya ambigu. Maybe yes, maybe no.

Hanya Tuhan, Marx sendiri, dan orang-orang yang pernah berada disekitarnya yang tau kebenaran statement tersebut. Fakta yang bisa kita pastikan hanyalah: memang benar, Marx adalah seorang ateis.

Menurut saya, wajar saja jika Marx dan Lenin tidak suka agama. Alasannya, karena mereka beranggapan bahwa agama hanyalah penghambat mereka untuk mengembangkan paham komunisme.

Komunisme (communism) sendiri berasal dari kata dasar 'common' yang bisa kita terjemahkan sebagai 'sama' atau 'umum' dalam bahasa Indonesia. Paham ini mengajarkan adanya keinginan untuk sama rasa-sama rata.

Read More

Sunday, March 4, 2018

Musuh


Hujan, bumiku meredakan kemaraunya. Tak banyak, tapi cukup. Air itu turun menyejukkan, sukacita turut serta bersamanya. Tanah basah mengeluarkan aroma nostalgia, selalu saja bangkitkan kenangan yang mampu terbitkan senyuman. Aku bahagia hujan datang, sungguh tak terkira nikmatnya suara hujan, gemercik yang selalu berhasil membawa ketenteraman. Aku bahagia hujan datang. Gundahku untuk sementara terjinakkan.

Ironis, hujan itu tak mampu redakan rasa benciku pada waktu. Yang hadir tak ubahnya bayangan yang senantiasa ikut kemanapun aku berjalan. Dengan wajah bengis menghunuskan pedangnya yang tajam tepat ke arahku, menungguku lengah untuk melayangkan tebasannya. Tanpa ampun, redupnya kesiagaanku akan menjadi saat dimana aku terbunuh.

Pahit, harus kuakui ini semua hanyalah reaksiku yang berlebihan menyikapi kenyataan. Kenyataan bahwa waktu tak pernah menungguku. Bahwa terkadang ia memposisikanku sebagai teman, namun sekejap, bisa saja yang kudapat hanyalah sebuah tikaman dari belakang. Sungguh pengkhianat yang tak bisa dititipi kepercayaan. Bisa hilang, lenyap dalam satu kedipan, itulah dia sifat menyebalkan suatu zat yang sering disebut orang sebagai kesempatan. Waktu tak pernah benar-benar membunuhku, ia membunuh kesempatanku. Yang berkali-kali datang, berkali-kali juga terhempaskan. Kandas oleh suatu kesalahan yang disebut keterlambatan, kelalaian, yang menurutku hanyalah manifestasi dari sebuah kebodohan.

Aku, ambisiku, dan kenyataanku hidup berdampingan dalam ketidak-harmonisan. Asaku melayang jauh menuju awan, namun rasa takutku membuat raga ini terpaut di bumi. Ekspektasi dan realita yang tak sejalan kerap datang menghantam semangat juang. Aku tetap berdiri diatas kakiku, semampuku kutahan wajahku agar tetap terangkat, nyatanya tetap lututku bergetar hebat. Dan lihat, aku masih saja menyalahkan sang waktu disaat jelas, terang bak hitam diatas putih bahwa musuh terbesarku ialah...  diriku sendiri.



Read More