Sunday, March 4, 2018

Musuh


Hujan, bumiku meredakan kemaraunya. Tak banyak, tapi cukup. Air itu turun menyejukkan, sukacita turut serta bersamanya. Tanah basah mengeluarkan aroma nostalgia, selalu saja bangkitkan kenangan yang mampu terbitkan senyuman. Aku bahagia hujan datang, sungguh tak terkira nikmatnya suara hujan, gemercik yang selalu berhasil membawa ketenteraman. Aku bahagia hujan datang. Gundahku untuk sementara terjinakkan.

Ironis, hujan itu tak mampu redakan rasa benciku pada waktu. Yang hadir tak ubahnya bayangan yang senantiasa ikut kemanapun aku berjalan. Dengan wajah bengis menghunuskan pedangnya yang tajam tepat ke arahku, menungguku lengah untuk melayangkan tebasannya. Tanpa ampun, redupnya kesiagaanku akan menjadi saat dimana aku terbunuh.

Pahit, harus kuakui ini semua hanyalah reaksiku yang berlebihan menyikapi kenyataan. Kenyataan bahwa waktu tak pernah menungguku. Bahwa terkadang ia memposisikanku sebagai teman, namun sekejap, bisa saja yang kudapat hanyalah sebuah tikaman dari belakang. Sungguh pengkhianat yang tak bisa dititipi kepercayaan. Bisa hilang, lenyap dalam satu kedipan, itulah dia sifat menyebalkan suatu zat yang sering disebut orang sebagai kesempatan. Waktu tak pernah benar-benar membunuhku, ia membunuh kesempatanku. Yang berkali-kali datang, berkali-kali juga terhempaskan. Kandas oleh suatu kesalahan yang disebut keterlambatan, kelalaian, yang menurutku hanyalah manifestasi dari sebuah kebodohan.

Aku, ambisiku, dan kenyataanku hidup berdampingan dalam ketidak-harmonisan. Asaku melayang jauh menuju awan, namun rasa takutku membuat raga ini terpaut di bumi. Ekspektasi dan realita yang tak sejalan kerap datang menghantam semangat juang. Aku tetap berdiri diatas kakiku, semampuku kutahan wajahku agar tetap terangkat, nyatanya tetap lututku bergetar hebat. Dan lihat, aku masih saja menyalahkan sang waktu disaat jelas, terang bak hitam diatas putih bahwa musuh terbesarku ialah...  diriku sendiri.




EmoticonEmoticon