Wednesday, February 8, 2023

Happiness is a State of Mind


Happiness is a state of mind,
sebuah kutipan yang mungkin sudah terlalu sering kita dengar, mainstream memang, namun tentu saja layak untuk direnungkan. 

Saya pribadi seringkali bertanya-tanya (pada dirinya sendiri biasanya) tentang cara menggapai kebahagiaan yang hakiki. Sebuah kebahagian yang sesungguhnya, berkesinambungan, yang tidak hanya datang sesekali atau occationally saja.

Hal seperti apa sih, yang bisa menghasilkan jenis kebahagiaan yang seperti itu?

Apa cuma saya yang belum tau cara menggapainya? Kenapa orang-orang lain sepertinya sudah, ya?

Dan sebagaimana yang sudah diprediksi dan diulas oleh banyak orang sebelum saya, sosial media hadir bak minyak tanah yang dengan sigap mengguyur api kecil yang sedianya memang sudah ada di dalam hati. Memunculkan rasa iri pada kehidupan orang lain yang terlihat begitu menyenangkan, begitu sempurna. Yang sepertinya... bahagia.

Saya cukup yakin bukan hanya saya sendiri yang mengalami perasaan ini. 

In my opinion, hal inilah yang seringkali membuat manusia-manusia yang termasuk dalam golongan tersebut diatas berpacu untuk memperoleh serba-serbi materiil yang dimiliki oleh manusia-manusia lain yang (mereka duga) bahagia. Berharap serba-serbi materiil yang sama, entah itu kekayaan; pencapaian; kehidupan percintaan; atau apa pun itu dapat menghasilkan kebahagiaan yang sama pula pada diri mereka. 

Sebuah upaya untuk mencari kebahagiaan dengan cara menduplikasi cara orang lain berbahagia. Tentu tidak ada yang salah. Namanya juga usaha. Rasa hormat saya selalu tersedia untuk manusia-manusia yang tak berhenti mencoba.

Ironinya, yang bisa diduplikasi ternyata hanyalah keberhasilannya. Rasa bahagianya belum tentu ikut serta mengiringi. Setidaknya begitu menurut beberapa tulisan yang saya baca, yang telah beberapa kali juga saya buktikan sendiri. Anda bebas untuk setuju maupun tidak setuju.

Kalau bukan seperti itu, lantas bagaimana dong cara menggapai kebahagiaan hakiki yang kita maksud?

Nah, disinilah kita masuk ke pokok pembahasan, tentang sebuah kutipan yang saya jadikan judul dalam artikel ini: 'Happiness is a state of mind'. Disclaimer, kutipan ini tentu saja bukan buah pemikiran orisinal dari dalam otak saya, melainkan sebuah kutipan populer yang mungkin sudah seringkali hilir mudik di sosial media anda. However, rasanya layak untuk diulas dan dibagikan lagi ke pembaca blog ini.

Kita mulai dari definisinya dulu. Bagi saya, kutipan ini bermakna bahwa kebahagiaan itu bergantung pada keadaan pikiran kita. Mereka yang ahli mengontrol cara pandang dan pola pikir mereka atas suatu peristiwa ataupun keadaan, dapat dengan mudah menyetel diri mereka untuk berbahagia bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun. Intinya, ini semua adalah masalah internal dalam kepala, yang tak perlu ada sangkut paut dengan hal-hal eksternal sebenarnya.

Lucunya, terlalu banyak manusia yang sibuk mencari kebahagiaan seolah-olah kebahagiaan itu berada di suatu tempat atau keadaan tertentu. Entah itu di sana, atau di sini. Entah itu dalam kondisi begini, atau dalam kondisi begitu.

Pencarian yang salah metode itulah yang kemudian membuat kebahagiaan itu cenderung terkesan misterius, langka, gaib; sulit untuk ditemukan. Padahal kita semua harusnya menyadari bahwa kebahagiaan itu memang tak pernah ada, dan tak akan pernah ada, kecuali jika kita menciptakannya dalam pikiran kita. 

Memahami hal ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa ada orang-orang yang jauh dari kata 'berpunya' tapi hidupnya bisa jauh lebih bahagia dari mereka yang punya segalanya. Sebuah anomali, yang percayalah, tidak jarang ditemui.

Untuk bisa hidup bahagia, ternyata kita hanya perlu punya kontrol yang kuat pada cara kita berpikir; keterampilan untuk menguasai pikiran. Jangan biarkan pikiran itu bebas lepas menentukan  perasaan yang akan dihasilkan. Sebaliknya, kuasai pikiran itu untuk menghasilkan outcome perasaan yang kita inginkan. Kita adalah majikan dari perasaan dan pikiran yang kita miliki. Pengendali, pemegang kemudi.

Teorinya begitu mudah untuk dipahami. Praktiknya, minta ampun sulitnya.

Tulisan ini akan saya jadikan catatan pengingat bahwa keterampilan tersebut harus dilatih. Tidak mungkin tiba-tiba muncul begitu saja. Mungkin ada sebagian orang yang diberkahi karunia tersebut dari sononya, tapi jelas orang itu bukan saya.

Tidak ada petunjuk ataupun tutorial 'cara menjadi bahagia' di tulisan ini, karena saya pun juga tak tau. Silakan berusaha untuk mencari jalan bahagia sesuai dengan gaya masing-masing. Semoga secuil sudut pandang saya terhadap kutipan mainstream tersebut bisa memberikan warna baru pada pemikiran anda tentang kebahagiaan.


EmoticonEmoticon